Produksi cabai Indonesia belum mencukupi kebutuhan dalam negeri. Setiap tahun Indonesia hanya mampu memproduksi sekitar 736 ribu ton per tahun dari kebutuhan 790,5 ribu ton cabai Indonesia 790,5 ribu ton per tahun. Peningkatan produksi sulit dilakukan karena keterbatasan lahan pertanian terutama di Pulau Jawa. "Kita bisa meningkatkan produksi cabai melalui pemanfaatan lahan kering (ultisol) yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku serta Papua," kata Mahasiswa S3 Program Studi Agronomi Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwiana Wasgito Purnomo didalam Sidang Terbuka disertasinya bertajuk ' Keefektifan Fungi Mikoriza Arbuskula dalam Meningkatkan Hasil dan Adaptasi Cabai (Capsicum annuum L) Pada Tanah Bercekam Aluminium' Kamis (3/1) di Kampus IPB Darmaga.
Kelarutan Alumunium (A) yang tingggi pada tanah ultisol, sering menjadi kendala utama pertumbuhan tanaman cabai. Kelarutan Alumunium menghambat pertumbuhan akar, sehingga menurunkan kemampuan akar dalam menyerap hara mineral dan air. Masalah ini, menurut Dwi, bisa diatasi dengan penanaman genotipe yang adaptif terhadap cekaman alumunium nelalui seleksi plasma nutfah yang ada. " Kita menyeleksi tanaman yang memiliki daya adaptasi cekaman Alumunium berdasarkan perbedaan karakter pertumbuhan akar, fisiologi maupun agronomi." Identifikasi daya adaptasi ini secara cepat dengan mengamati perbedaaan panjang akar pada fase negatif (kecambah).
Perbaikan adaptasi bisa dilakukan dengan memanfaatkan simbiosis antara tanaman dan fungi mikoriza arbuskula (FMA) atau cendawan. Selama ini pemanfaatan FMA mampu meningkatkan daya adaptasi tanaman.
. Penelitian staf pengajar Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian Universitas Negeri Papua ini terdiri dari lima percobaan. Pertama, penapisan genotipe cabai untuk toleransi Alumunium berdasarkan perbedaan panjang akar pada fase negatif. Kedua, evaluasi genotipe cabai berdasarkan tanggap pertumbuhan dan hasil untuk toleransi terhadap Alumunium. Ketiga, kompabilitas jenis FMA dengan cabai. Keempat, tanggap pertumbuhan dan hasil terhadap inokulasi FMA pada cabai yang mengalami cekaman Al.
Setelah berkutat 1 tahun 8 bulan sejak bulan September 2005 sampai Maret 2007, Dwi berhasil memperoleh genotipe cabai toleran Alumunium yaitu PBC 619, Jatilaba, Cilibangi 5 dan Jayapura, serta genotipe peka, yaitu Cilibangi 3, Helm, PBC 549 dan Tit Bulat. Ia juga meneliti keefektifan cendawan
Gigaspora margarita mengurangi pengatuh buruk akibat cekaman Alumunium melalui peningkatan panjang akar, tinggi tanaman, bobot kering tajuk, jumlah buah panen, panjang buah, bobot per buah dan bobot buah panen. Genotipe toleran mampu beradaptasi terhadap lahan cekaman Alumunium melalui mekanisme internal dengan peningkatan kandungan asam malat dan sitrat dalam akar maupun tajuk. Selain itu, adaptasi genotipe toleran dilakukan dengan mengurangi penyerapan Alumunium. "Cabai genotipe peka lebih diuntungkan lagi dengan adanya simbios Gigaspora margarita ini," katanya. Gigaspora meningkatkan pertumbuhan akar sehingga serapan Nitrogen dan Pospor meningkat.
Penelitian ini dibawah komisi pembimbing yang terdiri dari Prof.Bambang S. Purwoko, Prof.Sudirman Yahya, Dr.Sriani Sujiprihati, dan Dr. Irdika Mansur
No comments:
Post a Comment